Legenda Desa Kedawung
Menurut penuturan Bapak Sohib, Kepala Seksi Pemerintahan Desa Kedawung pada Kamis, 3 Juli 2025, nama "Kedawung" berasal dari sebuah pohon yang dulu tumbuh di tepi jalan, dikenal masyarakat sebagai pohon Kedawung. Dari situlah, nama desa ini bermula.
Namun jika ditilik dari dokumen RPJM Desa, asal-usul Kedawung memiliki kisah yang lebih panjang. Pada zaman dahulu, saat wilayah Lumajang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit dengan nama Kadipaten Lumajang dan dipimpin oleh Adipati Nambi, terdapat seorang penguasa Kedemangan Sukodono bernama Demang Alap-alap. Ia mengutus lima orang kepercayaannya untuk membuka lahan baru di wilayah barat Sukodono sebagai tempat pemukiman dan pertanian.
Saat kelima orang tersebut membabat hutan, mereka tidak menemukan satu pun sumber air atau sungai yang bisa digunakan untuk kebutuhan minum. Hal ini membuat mereka kecewa dan mengeluhkan penugasan tersebut, mengapa tidak diarahkan ke wilayah timur yang airnya lebih melimpah. Dalam bahasa Jawa, rasa kecewa ini disebut "keduwung". Karena perasaan itulah dan karena kejadian tersebut berlangsung di bawah pohon Kedawung, wilayah ini kemudian dinamai Desa Kedawung.
Ketika mereka beristirahat setelah membabat hutan, mereka melihat sekelompok monyet (bahasa Jawa: kerah) bertengkar memperebutkan makanan. Peristiwa tersebut menjadi asal usul nama Dusun Krajan, karena kata "kerah" merujuk pada monyet-monyet yang saling berebut. Salah satu dari lima orang tersebut, yang dikenal sebagai Buyut Sarinten, diperintahkan membuka lahan lebih ke arah barat dari Krajan dan diminta membangun pondok tempat peristirahatan (dalam bahasa Jawa disebut darung). Dari sanalah kemudian muncul nama Dusun Darungan. Sementara itu, Buyut Depo, yang lain, diminta membabat hutan di sisi selatan Desa Kedawung, tepatnya di seberang sungai. Karena lokasinya berada di seberang sungai, tempat itu kini dikenal sebagai Dusun Sarbang.
Di tempat lain, ketika kelima orang tersebut sedang bermusyawarah, salah satu dari mereka enggan mendengarkan saran yang diberikan. Ia diperingatkan dengan ucapan, “Lek didandani, ikê dirungokno, aja ngomong wae!” yang artinya “Kalau diperbaiki itu ya didengarkan, jangan hanya bicara saja!” Peristiwa ini terjadi di sebelah tenggara Krajan, di mana tumbuh banyak tanaman Dringu—tanaman herbal berbau khas yang biasanya digunakan untuk jamu ternak setelah melahirkan atau obat untuk anak kejang-kejang (sawan/step). Wilayah itu kini dikenal sebagai Dusun Dringu, dan tokoh sesepuhnya dikenal sebagai Buyut Gilir.
Dalam peristiwa di Dringu tersebut, seorang keturunan Madura menyetujui pernyataan tadi, tetapi karena pengaruh logatnya, ucapannya “bener ikê yen didandani” terdengar seperti “benel.” Untuk mengenang kejadian ini, wilayah di sebelah timur Krajan kemudian dinamakan Dusun Benel. Tokoh yang berperan dalam pembukaan Dusun Benel dan Krajan dikenal dengan nama Buyut Diyem atau Ngadiyem.
Begitulah kisah asal-usul Desa Kedawung dan dusun-dusunnya, yang tak hanya menyimpan sejarah dari masa Majapahit, tetapi juga nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Hingga kini, nama-nama tempat tersebut menjadi jejak sejarah yang hidup, mengingatkan kita bahwa setiap sudut desa memiliki cerita dan maknanya sendiri.
0 Komentar